Site icon Widi Utami

Cerpen | Kupu-kupu Kertas

Preketekketekktek Dorr kretek kretekk Dorr!

Bunyi itu berulang kali menjebol telingaku. Disambut teriakan girang orang-orang. Bocahbocah melonjak saking senangnya, seakan mendapat es krim rasa coklat kacang saja. Kampung mendadak kumuh, kertaskertas berhamburan seperti kupukupu putih yang tengah menjelajahi jalanan. Kebiasaan saat ramadhan tiba, meledakkan petasan hampir di setiap malam.

Sretttt.

Ada bekas luka yang kembali terkoyak di hatiku, tarikannya sekeras bunyi bom gadungan. Hatiku menjerit, sakit. Syuutttt. preketekketekketek!

Lagi-lagi mereka menyulut kembang api, atau apalah namanya, aku tak tahu. Itu lho, mirip kembang api, tetapi meledaknya jauh di udara. Ah, entah, yang jelas hatiku sakit sekarang. Air mataku siap tumpah. Bunyi itu memaksaku untuk mengenang kembali kesakitan yang membuatku mengobral air mata semalaman.

***

“Dik, buku dan map-mapku masih kamu bawa?” aku langsung menodong cowok jangkung itu ketika berjumpa di beranda rumahnya.

“Dibawa Mas Seto, Mbak!” ia menjawab dengan datar, tanpa ekspresi penyesalan. Aku dongkol, Seto, sepupuku itu kukenal sebagai seorang remaja yang tak punya rasa sayang dengan buku. Buku sekolahnya saja robek tak terawat, apalagi buku orang lain. Hah!

“Hah, kamu ki piye, toh! Semuanya, ya?” aku cepat-cepat melangkah ke jalanan. Hatiku dagdigdug tak karuan.

Bukuku, Robbuna. Buku yang kugadai dengan keringatku. Buku yang menjadi kepanjangan tangan-Mu untuk menyelamatkanku dari kebutaan akan ilmu.

“Dik, bukuku mbok bawa?” aku mengusik Seto yang tengah asyik mentelengin liputan sepak bola di rumahnya. “Bukunya nggak ada.” Bress.

Benar, kan? Benar, kan, dugaanku? Tapi, nggak ada kemana?

“Emang dipinjem siapa lagi?”

Tak ada jawaban. Sepupu sok cool itu masih saja mentelengin layar kaca.

“Heh, jawab, Dik!” kukeluarkan nada tujuh oktaf dari suara parauku.

Hanya kedikan bahu. Oh, Robbuna, hanya kedikan bahu!

Dik, kemana hatimu? Kemana, Dik?

Aku berjalan pulang dengan dada yang luar biasa sesak. Aku muak, sungguh. Air mataku berderai, kenapa sangat sedikit orang yang menghargai kecintaanku  pada buku?

Dorr! Dorr! Dorr!

Jantungku mendadak mengalami percepatan ketika tanah yang kupijak bergetar. Ada pesta petasan sepertinya. Aku bergegas keluar rumah. Kuusap air mataku yang menganakpinak.

“Wee, Dik Seto! Bikin ulah aja!” aku berteriak ketika melihat Seto tersenyum puas. Ya, dia yang meledakkan petasan yang membuat jantungku mengalami percepatan itu.

Serpihan kertas hijau mengusik mataku. Badanku mendadak dingin, jantungku berdetak lebih cepat lagi. Perasaanku tak karu-karuan. Ada apa dengan kertas hijau itu? Ia seperti sesosok benda yang melekat di hatiku. Aku mendekat, mengamati lekat-lekat.

Jeduar!

Kertas hijau dengan goresan tinta merah. Goresan yang sangat kukenal, tulisan yang kuukir dengan jemari panjangku. Ini ringkasan Biologiku, ya Robbana!

Mataku memanas, hatiku bergelombang hebat, tanganku gemetar, dadaku kembang kempis tak karuan. Aku dipukul palu godham kekecewaan. Robbana, inikah jawabannya?

Aku jatuh lunglai ke tanah. Tubuhku melemah tak ada tenaga. Tanganku mengumpulkan serpihan-serpihan kertas dengan gemetar. Mataku menatap serpihan itu dengan nanar. Dadaku sesak, air mataku tumpah sudah. Kutemukan banyak ukiran jemariku di sana. Serpihan-serpihan reproduksi, peribahasa, aljabar, bilangan bulat. . Aaah, ini benda yang kuingini untuk kembali.

“ALLAH. .” mulutku menceracau asma-Nya. Ada secercah harapan di hati, mungkin ada yang bisa diselamatkan diantara benda keramat itu, benda yang kugunakan sebagai ajimat saat UN SMP.

“Dik, Buku-bukuku kamu buat petasan, ya? Ada yang sisa?” suara parauku keluar saat aku menghampiri Seto yang memegang korek, ia tengah bersiap untuk meledakkan petasan untuk yang kesekian kali.

Kedikan bahu, lagi.

“Dik, jawab!” kutarik kaos yang melekat di badan Seto, dadaku sesak. Aku muak dengan orang ini!

“Tuh!” matanya menuju ke sebuah kotak coklat. Aku melongok, mendekati kotak itu dengan hati penuh harapan.

“Pe-ta-san.” kutahan nafasku kuat-kuat. Jantungku berdebar keras. Air mataku tumpah tanpa dikomando.

Kotak coklat dengan gambar aladin tersenyum membuat hatiku tersayat-sayat. Jejeran benda berbentuk silinder yang ada di dalam kotak itu sukses merajam tubuhku. Ya, benda itu adalah petasan yang terbuat dari buku-buku dan bendelbendelku.

Be butterfly, girl!

Aku terpaku pada ukiran jemariku di petasan berwarna kuning. Tulisan itu, kutulis di bawah ringkasan saat aku berhasil menamatkan ringkasan matematika, lengkap dengan tanda tanganku.

“Jadi, setelah lulus, kamu ledakkan semua ini, Dik?” aku mendesah. Ingin rasanya kutempeleng mukanya yang tak pedulian itu. Ingin kuajak dia menjelajah masa lalu, saat-saat aku menggadaikan kesenanganku hanya untuk meringkas materi.

Dorr jeduaarr dorr!

Orangorang kembali berteriak girang. Semakin banyak kupu-kupu kertas menjelajah dan akhirnya lunglai rebah ke tanah saat angin tak lagi membawanya terbang. Aku tak mampu lagi menahan air mata. Entah, berapa kali aku mengucurkan air mata lalu kuusap kembali dengan kasar.

***

Marhaban, ya Ramadhan! Dah brp ptsn yg kau dngar, adk?

Sebuah pesan membuyarkan lamunanku, dari Kak Aqil, kakak kandungku yang tengah berada di pondok Tahfidzul Qur’an.

Marhaban. Entah, sesering petasan itu meledak, sesering itu pula ade teringat dengan kejadian dua th yg lalu.

Aku menahan nafas, sesak jika harus mengingat ini.

Sdh tdk menangis lg kan? Masa udh 2 th ga bs ngrlain?

Malu kak pny adk ky gt.

Aku mendesah. Memang, aku tak lagi berlinangan air mata. Tetapi, jika melihat kupu-kupu kertas itu terkapar di jalanan, aku kembali kesakitan.

Tdk, tp blum bs brdmai dg hati.

Aku mengirim balasan, selang beberapa menit dating pesan dari Kak Aqil.

Kak bingung wkt it, smpe kak rela sms adek sembari ngapal qur’an!

Aku nyengir, saat itu Kak Aqil yang berusaha menenangkanku. Memaksaku untuk mengambil pena dan kertas, memulai kembali langkah dari nol. Jawaban yang membuatku gemas bukan main. Aku sampai sangsi akan kecintaan Kak Aqil pada lembaran ilmu.

Bagaimana tidak? Kak Aqil adalah kakak kandungku, ia tengah di rumah saat aku berkecimpung pada buku-buku. Bahkan, dialah yang mengingatkanku untuk makan saat aku hanyut dalam lautan buku-buku. Singkatnya, Kak Aqil tahu perjuanganku untuk menulis ringkasan itu.

Hehe. Alafwu, Kak. Kak tau ndri, ade gadai keringat buat nulis2 ckran ayam it.

***

“Dik, makan!” suara yang berwibawa mengusik keasyikanku.

“Nantilah, Kak. Belum selesai!” aku terus menulis, sesekali menghirup nafas panjang saat mendapati materi yang belum mampu kucerna.

“ALLAH, ini ruang tamu apa gudang buku!” Kak Aqil berdiri dengan tangan kiri di pinggang, tangan kanannya menggaruk kepalanya yang berambut cepak.

“Ruang tamu untuk buku-buku, Kak! Bukunya lagi bertamu. Hihih.” aku tertawa cekikikan.

Dasarnya baru tiba dari pondok tadi pagi, Kak Aqil terlihat konyol dengan ruang tamu yang disulap jadi gudang buku. Buku-buku dari tingkat tujuh sampai sembilan kuborong ke ruang tamu semua. Aku bosan menulis di kamar.

“Banyak amat, tugas apa iseng nih?” Kak Aqil mendekat, duduk di kursi samping. Aku lesehan di lantai menghadap meja dan seabrek buku.

“Itu yang matematika tugas. Hukuman buat yang tidak ikut ke Bali.” aku menunjuk ke sebuah buku bersampul merah yang telah kuberi daftar isi. “Yang ini, iseng. Biar lain kali nggak ngrasain baca buku seabrek gini. Tinggal baca ringkasan, beres!”

“Hehe, tapi makan dulu!” Kak Aqil menonjok halus kepalaku, aku terhuyung ke kiri.”Kata Umi, adik belum makan dari tadi pagi! Maagmu, Diik!”

“Uaah, tinggal dikit ni bab reproduksinya! Bentar lg dzuhur, trus tidur!”

“Lha makannya? Punya adik kok kelewat rajin gini. Teman-temannya asyik wisata, ni anak asyik sama buku sampe lupa makan!”

“Baru sehari di rumah crewetnya amit-amit, woi. Untung kakak mondok, jika tidak, habislah daku kau bantai! Haha.”

Kami tertawa cekikikan, aku menghentikan kegiatan sejenak. Melintas dalam otakku, sedang apakah gerangan teman-teman di Bali? Bermain-main dengan ombak di Pantai Kuta, memilah-milih kaos di Jangkrik atau Joger, menikmati koleksi flora di Bothanic Eka Karya Garden, ataukah tengah menikmati pemandangan di sepanjang jalan?

“Lho, koleksimu nggak nambah, Dik?” suara Kak Aqil mengusik telingaku, matanya tertuju pada rak buku di pojok rumah.

“Nggak, uang tabunganku buat beli pen segini sama hvs satu rim!” ujarku sembari memamerkan pencil tic satu pak.

***

Kak tau, tapi apa selesai jk hny menangis?

Pesan Kak Aqil kembali membuyarkan lamunanku. Aku terdiam, kata-kata yang pernah disampaikan Kak Aqil dua tahun silam. Kak, tak semudah itu melepas bukuku.

Adik, biarlah buku hilang, tapi tlg, smangatmu jngn hilang!

Aku mendesah. Ini hampir maghrib, harusnya Kak Aqil menyiapkan ta’jil di masjid pondok.

InsyaALLAH, doakan. Kakak siap-siap buka. Adk sendiri d rmh, Umi Abah k rmh Mbah.

Jeduar. Dorr. Dorr. Syuttt. Preketekketekk!

Aku keluar kamar hendak menutup pintu. Kupu-kupu kertas kembali berhamburan di jalanan, ilmu-ilmu yang ada di dalamnya seakan meronta kepadaku. Entah sampai kapan hati ini membuka luka kembali saat kupu-kupu kertas berhamburan menunggu rebah ke tanah. Sampai tak ada petasan di muka bumi ini. Mungkin.

 

Exit mobile version