Site icon Widi Utami

Bukan Ibu Segala Bisa, Akui Keterbatasan dan Berbahagialah

Bukan Ibu Segala Bisa

Bukan Ibu Segala Bisa

Bayanganku dulu saat masih jomblo hore-hore, kelak jika aku menjadi Ibu aku akan mengasuh anak sepenuh hati, menyiapkan makannya dengan gembira, menunggu suami pulang kerja dengan dandanan cantik dan wangi. Realitanya? Hidup memang tidak seindah khayalan, Cinta. Aku memang bukan ibu segala bisa, khayalanku ibu shalihah dan ibu-able banget, tetapi aku lupa, ada hal-hal yang aku tidak suka. Ada hal-hal yang di luar kendali.

Memaksa Diri Melakukan Hal-hal yang Tidak Suka

Melakukan hal-hal yang tidak suka karena kondisi yang belum memungkinkan adalah hal yang harus dilakukan, semacam tirakat. Tetapi, lain hal jika memaksa diri untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai karena… karena gengsi. Huhuhu, nangis di pojokan ah.

Iya, aku gengsi kalau jadi ibu yang enggak bisa.

Emang siapa yang bilang gitu? Enggak ada. Tetapi kan, aku sering baca narasi-narasi ibu ideal tanpa Asisten Rumah Tangga, yang serba bisa, masak sendiri, rumahnya rapi, anak keurus, masih sempet ngeblog dengan Instagram yang cethar. Gusti Allah, aku juga pengen!

Sering aku ngepoin gimana sih ngasuh bayi sambil ngerjain gawean yang alaihum gambreng gitu? Oh anaknya digendong. Oh, saat anak tidur, Ibu ngerjain gawean yang lain Oh, Ibu masak dan mberesin rumah saat pagi-pagi buta, saat anak dan suami belum bangun. Jadi ketika semua bangun, rumah sudah rapi, makanan sudah siap….

Sempat nyoba satu hari, aha, ternyata aku bisa ya. Bangga dong.

Hari kedua, lumayan…

Hari ketiga, kok pegel juga nih badan.

Hari keempat… ampun, ngantuk banget. Ini bayi malah rewel pula, kerjaan yang lain gimana. Suara sudah enggak sabaran.

Hari kelima, butuh pijaaatttt.

Please Hada, jangan rewel. Please Kevin, kamu main sendiri dulu. Please, please…. deadline ngawe-ngawe, mana yang harus aku ambil? Anak? Masakan? Rumah yang ngungkuli kapal pecah? Duh sayang pula kalau duwit melayang….

Makin insekyur ketika ada yang membandingkan kerempongannya dengan dua, tiga, empat anak. Burn Out is coming, i need take a break. Emosi masih aman tetapi rasanya tuh, jenuh dan capeeekkk banget.

Denial dengan ‘Tidak Suka’

Abah K sebenarnya mengamati kejenuhanku, ke-jungkir walikan-ku Menawarkan opsi untuk laundry dan momong Hada setengah hari. Awalnya aku merasa… ih, kamu meragukan kemampuanku ya? Kamu mau nantangin aku? Hahahahha, baper mode:on.

Padahal, saat aku mengikuti matrikulasi Ibu Profesional, urusan baju, dari mencuci, melipat sampai menyetrika kumasukkan ke dalam kuadran tidak suka. Enggak jarang alias seringkali baju-baju hanya berakhir di keranjang baju, belum kulipat, apatah lagi disetrika. Enggak kehitung berapa kali harus mencari-cari baju di keranjang.

Aku masih kukuh bahwa aku bisa melakukannya sendiri. Aku akan bangun lebih pagi dan tidur lebih malam demi keidealan semu. Yang berakhir dengan berantem karena aku tersinggung saat abah K mencari baju tetapi enggak ketemu. Wkwkwkwk

Berdamai dengan Tidak Suka, Menyadari bahwa Aku Berhak Punya Ruang untuk Berbahagia

“Kakak nyuruh aku nyari yang bantu nyuci dll dan momong Hada, apa karena Kakak menganggap aku enggak mampu. Eh, maksudku, meremehkanku?”

“Yo ora.” abah K menarik nafas dalam-dalam, mungkin enggak nyangka aku sebegitu over thinking-nya menanggapi wacana nyari orang yang bantu momong Hada setengah hari, “Setengah hari Hada diajak Mbah Sur, kamu bisa ngeblog, mbangun apa yang sudah kita susun.”

Aku diam sejenak, “Tetapi, masak Hada dimong orang?”

Iya, aku ingat betul permintaanya dulu untuk mengasuh anak sendiri. “Hanya butuh jeda, dari jam 8-12, 4 jam. Kamu bisa melakukan banyak hal, ngeblog, optimasi, masak. Setelah itu, momong Hada sudah enggak kepikiran kerjaan.”

Here i am, aku tetap di rumah. ‘Bekerja’ hanyalah ‘slimuran’, wong kerja seenak udelku dhewe. Hada diajak mbah Sur, adiknya Bapak yang sudah puluhan tahun menjadi baby sitter, setiap kali Hada haus akan diantar ke rumah untuk ng-ASI. Jam 12, saat makan siang tiba, Hada akan kujemput.

Dengan kuadran waktu kerja jam 8-12 ini, aku merasa tertantang untuk produktif. Semua pekerjaan aku selesaikan di jam 8-12. Setiap kali ada permintaan gawean, komplain, akan aku kerjakan di jam kerja. Tidak lagi terbayang-bayang pekerjaan atau komplainan. Aku menjadi punya batasan pekerjaan mana yang bisa kuambil, pekerjaan mana yang harus kutolak karena jam yang tidak cocok. Kadang aku mengambil pekerjaan yang settle by time seperti live tweet dengan mengatur jam momog Hada.

Aku merasa hidupku kembali, tidak lagi dibayang-bayangi narasi demi anak. Aku merasa enjoy menjalani peran, waktu bersenang-senang ada, anak-anak kopen, kesehatan terpelihara. Alhamdulillah, tsumma Alhamdulillah. Barangkali karena doa-doa orang yang kulibatkan, ridha suami yang begitu perhatian, aku bisa bergandengan dengan lebih banyak orang untuk menyelesaikan pekerjaanku.

Exit mobile version